Women Can’t Have it All (at once)

Women cant have it all – anonymous

Saya kembali menelusuri daftar mimpi saya yang hampir terlupakan karena ini dan itu. Kamu ingat? Saya ingin menjadi dosen. Saya ingin meneruskan sekolah lalu menjadi dosen. Kemudian, saya ingin punya sanggar tari. Kemudian, saya ingin tetap menjadi ibu yang mengurus segala keperluan keluarga saya tercinta.

Cita-cita saya itu belum tercapai semuanya. Saya masih sibuk melanjutkan pekerjaan saya, ditambah harus bedrest karena hyperemesis saya ini, juga harus mengurus rumah dan memasak sesekali. Saya jalani semuanya bersamaan.
Saya bekerja dari rumah (karena jika harus ke kantor, saya akan muntah nonstop di jalan). Boss saya mengerti mengenai hal ini. Asal saya masih bisa dihubungi untuk mengerjakan ini dan itu sepertinya beliau maklum. Pagi, saya menyalakan laptop, mengerjakan beberapa pekerjaan sambil sesekali merebahkan diri karena mual nya sangat mengganggu, kemudian saya akan membereskan rumah dibantu adik ipar saya. Agak sore, saya akan memasak, persiapan untuk suami saya makan jika pulang kantor nanti. Setelah itu saya akan menyapu dan mengepel rumah (lagi).

Saya tidak bisa tidur jika rumah tidak bau obat pel. Gila memang, tapi lebih baik saya capek sedikit daripada saya lebih stress memikirkan lantai yang lengket.

Saya memiliki suami yang pengertian. Dia sebenarnya tidak masalah saya tidak membereskan rumah atau tidak memasak untuknya. Tidak masalah juga jika saya  tidak mandi sepanjang hari. Dia tau saya kesakitan.

Kadang saya akan menangis di sela-sela dering telepon dari kantor, kemudian saya akan bengong menatap layar laptop dengan koneksi internet yang menyedihkan. Lalu tersadar bahwa halaman depan penuh daun kering belum disapu.

Dengan kondisi saya yang seperti ini, saya tersadar bahwa saya tidak bisa melakukan semuanya. Menjadi wanita karir dan menjadi ibu rumah tangga dalam waktu bersamaan. Mungkin, jika pekerjaan saya bukanlah seorang Personal Assistant (yang lebih mirip babysitter boss daripada seorang executive :p) saya masih bisa menjalankan keduanya.

Dengan saya bekerja dari rumah saja, saya merasa kewalahan. Apalagi jika saya sudah kembali ke rutinitas pergi pagi pulang larut setiap hari. Siapa yang akan membereskan rumah? Memasak? dan mengasuh anak saya (yang kemungkinan 4 bulan lagi lahir?). Jangan sodorkan saya babysitter lah, saya tidak akan mungkin tega meninggalkan bayi saya dengan orang asing seharian di rumah, sendiri.

Ibu saya, seorang pekerja sekaligus ibu yang mengurus rumah. Beliau bekerja dari jam 10 to 5. Waktu saya kecil, kami mempunyai pembantu yang membantu ibu membereskan rumah. Mbak pembantu ini membantu ibu memasak tetapi tetap ibu yang ;memasak’ dan mencuci baju. Tetapi, Ibu tetap mencuci dan menyetlika baju kerjanya, baju kerja bapak dan seragam sekolah saya dan adik saya. Selebihnya, mbake yang mengerjakan. Semuanya terasa begitu mudah untuk beliau. Bangun pagi untuk mencuci lalu ke pasar lalu meracik masakan lalu berangkat kerja. Pulang sore lalu mengerjakan pekerjaan rumah kembali. Begitu setiap hari tanpa terlihat lelah.

Saya? Ah, saya menyerah. Dengan sakit yang tidak kunjung sembuh ini, saya tidak mampu melaksanakan semuanya. Pun ketika mungkin saya sembuh, saya tidak sanggup menjalankan semuanya bersamaan. Bekerja di ibukota berarti menyerahkan segala waktumu untuk habis di jalan. Andaikan saya tinggal di kota kecil saja.

Saya tidak menyangkal, tetap ada beberapa orang yang sanggup melakukan semuanya. Bekerja di ibukota yang kejam ini dan masih bisa melakukan pekerjaan domestik nya sebagai ibu rumah tangga. Tetapi, sungguhkan dia mendapatkan kualitas nya? Sungguhkan dia bisa memiliki rumah yang rapi, bersih dan menyenangkan? Bisakah dia mengasuh anaknya secara berkualitas? Lama-lama, saya gila memikirkan keluarga kecil saya ini. Entah akan bagaimana saya nanti. tetap bekerja dengan resiko kehilangan moment-moment membahagiakan dengan Lemon (calon anak saya :p) atau meninggalkan pekerjaan saya untuk sepenuhnya berada di rumah.

Well, saya sih akan menjalani ini pelan-pelan saja. Saya yakin semuanya akan ada waktunya. Seperti apa yang selalu suami saya katakan pada saya: ‘Everything is gonna be alright, baby’. Dan, saya mengamininya 🙂

At last, mungkin quote di atas harus saya revisi menjadi:

You CAN have it all, you just CAN’T have it all, at once  -Oprah Winfrey