Kejutan Kehamilan

Artikel ini ditayanngkan di website The Urban Mama.

Saya tidak pernah tahu jika kehamilan dapat begitu menyakitkan. Selama ini yang saya tahu, kehamilan merupakan hal indah yang ditunggu setiap wanita. Saya tahu ada masa ngidam dimana makanan menjadi tidak menarik, bau-bau harum menjadi pemicu mual, sensitif yang berlebihan pada beberapa hal yang mungkin bagi kebanyakan orang biasa saja, dan mual-muntah-lemah-tidak doyan makan itu adalah sesuatu yang wajar dan akan hilang dengan sendirinya setelah trimester pertama berakhir. Itu adalah gambaran kehamilan yang saya mengerti selama ini.

Ternyata saya salah.

Sebulan setelah menikah, saya dinyatakan hamil. Kami senang sekali mengetahui berita ini, walaupun agak kaget juga kami diberi kepercayaan secepat itu. Kami masih sama-sama sibuk di kantor, masih hidup berdua di kos-kosan dan belum berencana pindah rumah. Waktu umur kandungan hampir sebulan, saya mulai mual-muntah cukup sering. Konsekuensinya, saya bolos ke kantor karena tidak kuat bangun pagi dan tidak sanggup menghirup udara di luar kamar. Bebauan yang selama ini biasa saja menjadi terasa sangat menusuk. Kadang, suami saya harus cepat-cepat menutup pintu kamar agar bau-bau di luar tidak lama tercium. Indra pembau saya menjadi sangat sensitif. Awalnya kami pikir ini adalah hal yang wajar, begitu pula pendapat saudara dan teman-teman kami. Mereka semua bilang itu adalah hal yang sangat wajar. Tidak perlu manja dan mengeluh. Semuanya akan hilang setelah kehamilan memasuki bulan ke empat.

Tampaknya sensitifitas indera perasa dan pembau saya tidak sepenuhnya wajar, saya muntah membaui apa saja. Hingga bulan kedua kehamilan, berat badan saya turun 8 kg. Saya tidak bisa makan bahkan minum karena saya tidak dapat mencium bau makanan atau minuman apa pun. Akibatnya tubuh saya menolak setiap suap makanan dan minuman yang saya coba konsumsi. Kuantitas muntah saya meningkat. Tidak lagi 3-4 kali. Bisa puluhan kali dalam sehari, saya tidak bisa tidur, setiap lima menit saya harus berlari ke wastafel karena muntah yang tidak berhenti.

Hingga suatu hari saya benar-benar tidak tahan untuk tinggal di tempat kos kami, saya benar-benar ingin pindah, tepatnya mencari udara yang lebih segar. Pada hari itu, tepat jam 12 malam, setelah berpindah-pindah hotel seharian, saya dilarikan ke rumah sakit. Sepanjang jalan ke rumah sakit  merupakan perjalanan yang menyiksa. Saya tidak berhenti muntah dan saya pun tidak cukup kuat menahan sakit karena muntah itu.

Sampailah kami di sebuah rumah sakit di Jakarta pusat, dokter jaga meminta saya opname. Kondisi saya saat itu cukup memprihatinkan dan ada kemungkinan dehidrasi yang akan membahayakan janin yang saya kandung. Saya pasrah saja, saya meminum obat pengurang rasa mual, meskipun saya tahu pengobatan dari dokter tidak akan menjadikan keadaan membaik.

Dokter cuma memberikan nutrisi tambahan lewat cairan infus agar kebutuhan nutrisi saya terpenuhi. Setelah 4 hari saya menginap di rumah sakit, saya diperbolehkan pulang. Selama empat hari di rumah sakit tersebut, suami saya mencari tempat tinggal yang diharapkan lebih baik, di sebuah apartment studio di sekitar Setiabudi.

Pindah tempat yang lebih lega, dengan udara yang mungkin lebih bersih, pun kondisi saya tidak membaik. Saya benar-benar tidak bisa makan dan minum. Saya terlalu lemah untuk berlari ke wastafel untuk muntah, sehingga tong sampah selalu ada di samping tempat tidur saya. Untungnya bos saya mengizinkan saya bekerja di rumah. Sehari-hari saya hanya tiduran sambil sesekali mengecek email lewat handphone dan memforwardnya ke asisten di kantor, diselingi muntah tentunya.

Pergi ke kamar mandi pun saya sudah tidak sanggup, saya tidak bisa mandi sendiri, dan suami saya memandikan saya 3 hari sekali. Saya benar-benar seperti mayat hidup. Ketika saya akhirnya bisa minum, satu-satunya minuman yang diterima oleh badan saya hanyalah coke. Ya, coke super dingin. Sehari mungkin sekitar sebotol 1.5 liter saya habiskan sendiri, itu pun masih diselingi muntah. Kami sudah pasrah. Minimal ada sesuatu yang masuk ke tubuh saya. Kandungan gula dalam coke mungkin akan sedikit menambah energi untuk saya.

Setelah usia kandungan saya hampir 4 bulan dengan kondisi yang semakin memprihatinkan, kami akhirnya memutuskan mencari dokter lain untuk memperoleh second opinion. Dokter bilang, saya menderita Hyperemesis Gravidarum. Secara singkat, Hyperemesis Gravidarum adalah karakteristik mual yang berlebihan, muntah dan kehilangan berat badan secara signifikan. Sayangnya, ini tidak bisa disembuhkan. Jadi, yang harus saya lakukan adalah, pasrah.

Penderita Hyperemesis Gravidarum biasanya semakin merasa terpojok karena lingkungan sekitar yang tidak mendukung. Sama seperti saya. Saudara dan teman-teman saya mulai memberikan komentar negatif melihat saya yang dibilang ‘manja’ dan tidak mau berusaha untuk melawan rasa mual. Sungguh, bukannya tidak pernah berusaha tetapi apa daya jika satu suap makan atau minum diikuti oleh muntah yang parah sampai rasa sakitnya menjalar sampai ke ulu hati.

Kami sadar, tempat tinggal kami saat itu tidak lebih sehat dari sebelumnya, akhirnya kami memutuskan pindah ke daerah Tangerang Selatan yang notabene masih cukup asri, dengan udara yang bersih dan sejuk. Ternyata benar, memasuki bulan ke 5 saya mulai bisa makan lahap, dengan frekuensi muntah yang sedikit berkurang. Syukurlah berat badan saya mulai naik sedikit demi sedikit. Dengan kondisi seperti itu, berat badan saya sudah naik hampir 12 kilo. Sungguh ajaib. Kadang saya masih bingung, bagaimana mungkin nutrisi itu masih masuk ke tubuh saya dan bayi yang saya kandung jika setiap selesai makan saya kembali muntah hebat.

Setelah lebaran, saya mulai masuk kantor lagi. Merupakan pengalaman yang berat untuk saya. Perjalanan menuju kantor membutuhkan waktu 1,5 jam dari tempat tinggal kami yang baru ini. Sepanjang perjalanan ke kantor saya bisa muntah hingga 6 kali. Pulang kerja pun begitu. Rasanya perut saya seperti dikuras. Semua makanan keluar bersama muntahan.

Ketika badan saya sudah mulai kuat, masalah lain mulai muncul. Karena berat badan saya dan bayi meningkat pesat, saya mulai dihadapkan pada masalah tulang dan persendian. Pangkal paha saya terasa sakit, nyeri luar biasa, mungkin karena tidak sanggup menahan berat badan yang meningkat tajam. Saya tidak sanggup mengangkat kaki bahkan ada kalanya saya tidak sanggup berjalan. Satu-satunya solusi saat itu adalah dengan mengonsumsi painkiller. Saya pun meminumnya meski dengan penuh rasa khawatir akan akibatnya pada janin saya nanti.

Semakin hari, saya semakin minder. Minder pada teman-teman yang tampak bahagia menjalani kehamilanya. Mereka mulai mempersiapkan kehadiran sang bayi. Mengikuti pelatihan, senam hamil, jalan pagi, berenang bahkan belanja keperluan bayi. Saya? Hanya dirumah. Tiduran. Masih menangis setiap pagi sebelum berangkat ke kantor karena mual muntah dan selalu merasa tidak sehat. Kesakitan di sekujur tubuh.

Tetapi, semua penderitaan itu hilang ketika suatu pagi bayi perempuan yang sehat dan cantik hadir di pelukan saya, melalui operasi Caesar. Saya tak menyangka bayi yang selama 5 bulan hanya minum coke, ibu nya tidak pernah minum susu hamil apapun, tidak pernah megonsumsi vitamin merk apapun, tidak pernah senam hamil atau melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk kehamilan, lahir dengan sehat dan sempurna. Tuhan telah menunjukan kuasanya pada bayi ini. Saya tidak dapat menahan tangis haru. Tuhan telah mendengar doa-doa yang saya selipkan di tengah tangis kesakitan saya setiap hari. Akhirnya saya mengerti, tidak ada kehamilan yang tidak indah. Tuhan punya cara sendiri menyampaikan keindahan itu. Menjadi Ibu adalah kado terindah yang pernah saya dapatkan.

Bayi itu kami beri nama Maika Lemoni Amanda. Nama itu terinspirasi dari tokoh favorit saya di salah satu serial komedi 30Rock! Lemon, sekarang 9 bulan, tumbuh sehat, cantik dan lucu. Kadang saya tak percaya, inikah bayi yang dulu setiap hari saya beri coke? yang pernah saya sangsikan kesempurnaanya? Saya sungguh beruntung telah melewati semua ini.