Maika Lemoni Amanda

Semacam bom yang siap meledak, begitulah kondisi saya sekitar seminggu yang lalu.

Malam itu adalah jadwal kontrol kehamilan saya. dr. Daniel sudah memperkirakan, anak saya akan lahir dalam waktu seminggu. Ya, hitungan manual saya dan pak dokter berbeda beberapa minggu. Tapi mengapalah saya mempersoalkan hal itu. Yang harus saya lakukan toh hanyalah menunggu kontraksi kemudian mempersilahkan Tuhan, melalui tangan-tangan cekatan di rumah sakit itu yang menolong kelahiran anak saya. Seminggu berlalu, tak ada tanda-tanda si cantik ini akan lahir. Pergilah saya dan suami ke rumah sakit. Ya, malam itu, ketika akhirnya diketahui berat calon bayi saya sudah mencapai 3,8 kg. Giant Baby, kata pak dokter. Beliau menyarankan operasi instead of water birth we’ve planned before.

Saya tersenyum. Suami saya shock. HAHAHAH.

Saya tidak menyangka bayi saya akan sebesar itu. 5 bulan kehamilan saya habiskan di tempat tidur dengan tong sampah di sebelah tempat tidur untuk persiapan muntah. Jika di awal-awal bulan saya kesulitan makan, mendekati bulan ke lima saya mulai makan banyak. Tidak bisa terlambat makan. Jika itu terjadi, asam lambung saya akan naik dan saya akan muntah-muntah tak berhenti. Mungkin itulah yang menyebabkan bayi saya gendut. Karena saya pun akhirnya mengalami kenaikan berat badan sejumlah 25 kg. Dua puluh lima kilogram, sodara. Padahal saya masih saja mual-muntah sepanjang hari. Ajaib ya, nutrisi dari makanan yang saya makan bisa sampai ke bayi saya.

Di masa-masa itu pula saya merasa bersalah pada calon bayi cantik ini. Saya mengamati teman-teman saya yang sedang hamil juga, mereka dengan sukacita menjalani kehamilan nya. mencari info sebanyak mungkin mengenai bayi, jalan pagi, latihan hypnobirthing dan lain-lain. Saya? Ah, bangun pagi untuk ke kantor saja saya harus melalui banyak ‘drama kehidupan’ HAHAHA. Waktu saya habis di jalan dan di kantor. Berangkat pagi, pulang malam dengan kondisi fisik yang super memprihatinkan. Mana ada waktu untuk saya memperhatikan kehamilan?

Yang bisa saya lakukan hanyalan sedikit-sedikit mencuri waktu di kantor untuk membaca beberapa thread mengenai kehamilan dan bayi di The Urban Mama forum. Jalan pagi? ah, lupakan. Dimungkinkan karena bayi saya yang besar, saya mengalami Symphisis Pubis Dysfunction. Silahkan copy paste kalimat aneh tersebut di halaman Google dan cari tau apa artinya. Yang jelas, tulang selangkangan saya sakit sekali. Jalan saya pincang, tidur susah, tidak bisa pakai celana sendiri karena saya tidak sanggup mengangkat satu kaki. Lengkap sudah penderitaan saya. Mual-muntah di pagi hari, mandi dengan sengsara, perjalanan rumah-kantor yang bisa sampai 2 jam dengan kemacetan luar biasa, workload yang sedang tinggi-tingginya (akhir tahun, yearly report dan propose LoA untuk taun depan), kesulitan berjalan. Keren ya :))

Mengenai waterbirth. Saya membaa e-book Dewi Lestari (kalau mau, contact saya ya, nanti saya email) tentang ceritanya memilih waterbirth untuk persalinan keduanya. Saya menangis di sela-sela membacanya. Benar, betapa saya merasakan trauma yang mendalam pada kehamilan pertama saya ini. Jauh dari kesan indah sebuah kehamilan. Lalu kemudian, pada akhir-akhir bulan kehamilan ini saya masih harus merasa takut dan was-was membayangkan persalinan. Saya tidak mau merasakan trauma kedua kalinya, kemudian itu berakibat buruk pada hubungan saya dan anak saya kelak. Salah besar jika orang mengira saya memilih waterbirth hanya untuk mengurangi rasa sakit proses persalinan. Bukan. Bukan itu. Saya ingin persalinan saya bersifat pribadi dengan intervensi seminim mungkin dari medis. Saya memimpikan proses persalinan yang paling gentle. Bahkan saya menginginkan persalinan itu dilakukan di rumah. Saya ingin hubungan yang intim dengan bayi saya. Sekali lagi, berkurangnya sakit pada persalinan waterbirth hanyalah SALAH SATU keunggulannya. BUKAN tujuan. Saya merekomendasikan anda untuk mencari tahu mengenai Waterbirth ini.

Semua itu buyar seketika ketika dokter yang tadinya sudah menyanggupi permintaan saya menyarankan operasi. Saya pasrah. Saya sudah tidak punya kekuatan lagi untuk berdebat. Saya sudah sangat kesakitan di hari-hari akhir kehamilan saya. Saya tidak mau menambah resiko pada persalinan saya.

Suami saya shock. Alasanya, kasihan nanti perutnya di belek. Saya tertawa saja.

Kamipun pulang dari rumah sakit dengan perasaan aneh. Sempat terpikir untuk mencari second opinion ke dokter lain. Tapi rasanya sudah tak sanggup. Akhirnya, setelah perbincangan yang diselingi mewek dikit :p, akhirnya kami memutuskan untuk mengiyakan rekomendasi dokter untuk menjalani operasi. Saya hanya harus memilih tanggal kapan operasi itu akan dilaksanakan.

Sehari berselang. Jam 8 malam, suami saya pulang dari kantor, saya belum mandi :p. Dia memandikan saya kemudian kami bersiap-siap berangkat ke rumah sakit. Bersama dengan Ibu saya dan Saudara sepupu yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Pagi jam 4 subuh tanggal 29 Desember 2010, suster mempersiapkan operasi saya. Di detik-detik terakhir operasi kelahiran si bayi cantik ini, saya masih mual. Tepat jam 06.30 pagi, saya masuk ruang operasi. Suntik bius yang disuntikkan di tulang belakang (yang konon katanya sakitnya masaampun) saya jalani dengan lancar. Sakit sedikit, seperti digigit semut, kemudian pegal lalu mati rasa. Operasi itu berjalan sebentar sekali. Tidak sampai 15 menit, bayi cantik yang masih bengkak dan menangis super kencang itu diletakkan di dada saya untuk IMD. Saya menangis. Inikah yang selama ini membuat saya begitu tak berdaya? Yang 9 bulan membuat saya menyumpah ini itu karena kesakitan? Yang 9 bulan telah memutarbalikkan hidup saya? Bayi cantik ini? Yang sehat ini?

Suster memegang tangan saya kencang sambil sesekali menyeka airmata saya. Proses IMD nya gagal karena saya keburu muntah. Asam lambung saya naik karena puasa sejak jam 12 malam sebelumnya. Hanya sebentar bayi itu mampir di dada saya. Kemudian saya tertidur pulas. Dokter anastesi menyuntikkan sesuatu ke infus saya. Saya hanya mendengar dia minta Ranitidine untuk disuntikkan setelah saya muntah-muntah.

Tak berapa lama saya bangun. Saya masih di ruang operasi. dr. Daniel menjahit perut saya sambil bercanda. Sambil mengajak saya mengobrol. Saya, tak sabar untuk keluar dan memeluk bayi saya.

Sampai akhirnya proses itu selesai, saya keluar ruangan operasi disambut suami dan Ibu. Suami saya memeluk dan mencium saya dengan mukanya yang sumringah. Sambil beberapa kali bilang: dia gendut banget lho, gede banget. Saya tersenyum lemah. Berakhir sudah, pikir saya.

Saya diantar ke kamar perawatan. Tidak boleh bergerak sampai bius habis. 6 jam baru boleh minum. 24 jam baru boleh turun tempat tidur. Tersiksa setengah mati. Lebih tersiksa lagi ketika bayi akhirnya diantar ke kamar, saya tak bisa menyentuhnya. Bayi saya memang tidak dipisahkan tidur di kamar bayi. Dia tidur bersama saya di kamar perawatan. Tetapi apalah artinya kalau memeluknya pun saya tak bisa.

Begitulah akhirnya 9 bulan ‘penuh siksa’ itu berakhir. Bayi perempuan cantik dan sehat itu kami beri nama Maika Lemoni Amanda. Kami memanggilnya Lemon. Ini memang obsesi saya pada Elizabeth Lemon :p. Maafkan Ibu nak, kalau nanti di sekolah teman-teman mengolok-olok namamu. Ibu yakin, kamu pasti punya cara membuat mereka menutup mulut :p.

Kepada teman-teman virtual di twitter, facebook, blogger yang telah mengisi hari-hari saya dengan semangat dan cinta, terimakasih 😀 Banyak diantara kita yang bahkan bertemu pun belum, tetapi hati dan ketulusan kalian menyentuh hati kami.

Kepada suami tercinta, tentu saja, terimakasih ya, horeee bisa cium cium ketek lagi tanpa mual muntah 😀

Kepada anak Lemoni, Ibu mencintaimu, Nak! Banyak yang mencintaimu. Selamat datang 😀

Kepada Granny, terimakasih kadonya. Permintaanku 2 tahun lalu sudah kau kirimkan. Kumbang yang super baik, rumah kecil bercat merah bertotol hitam kemudian peri kecil cantik yang membuat kami tersenyum, tertawa sampai menangis, tempat kami menggantung harapan setinggi langit. Terimakasih juga masih mau mendengar cerita-cerita ku di tengah malam.

Love,

Kepik #53 di Kebun Nenek.

 

*photo, credit to Dhimas Basunondo

  1. panopticonclave 08/01/2011 at 9:33 am

    terharu bacanya :’D Selamat ya, Ajeng. Semoga mbak Ajeng, Lemon & mas Dwi sehat selalu, semoga Lemon tumbuh jadi anak yg pintar 🙂 Seperti saya #eaaaa :))

    1. misskepik 08/01/2011 at 9:53 am

      Jieeh, ujungnya gak kukuuuu :p
      Iya deh, biar Lemon jago gambar ya nanti 😀

  2. satirelane 28/02/2011 at 11:39 am

    iihhhhh luchu banget lemon, semoga jadi anak yang bahagia dunia akhirat ya…huhuhuh gemesh XD

    1. misskepik 01/03/2011 at 5:23 am

      amin tante cimoooot yang cantiiik 😀

Comments are closed.